makalah aliran asyariyah
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan
inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai
dengan ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini kami beri judul “Aliran
Asy’ariyah” dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
pelajaran Aqidah Akhlak.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Revolusi Akbar Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah
satu figur umat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.
Selanjutnya saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada Ibu Neni Rizkiah, M.Ag selaku guru pengajar mata
pelajaran Aqidah Akhlak, yang telah membimbing kami. Dan kepada semua pihak
yang terlibat dalam pembuatan makalah ini hingga selesai.
Saya mohon ma’af yang sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.
Saya
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan
makalah selanjutnya.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis umumnya dan khususnya bagi pembaca.
Garut, Agustus 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................i
Daftar Isi.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................................................1
B.
Rumusan Masalah..............................................................................................................1
C.
Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdiri dan
Perkembangan Asy’ariyah...................................................3
1.
Pendiri....................................................................................................3
2.
Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah............................................5
3. Sejarah Berdirinya
Asy’ariyah...................................................................7
4. Penyebaran Akidah
Asy-'ariyah................................................................7
B. Istilah Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah Wal Jamaah....................................................8
1.
Makna Ahlussunah
wal Jama’ah itu sendiri...............................................14
C. Pandangan-Pandangan
Asy’ariyah.........................................................................15
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beragam aliran teologi
yang tumbuh subur memiliki historisasi yang cukup panjang, semuanya tidak
terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada
para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.
Makalah ini akan
membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang pada abad ke-4 dan
ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas
reaksi terhadap Muktazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai
landasan dalam beragama. Ketidaksepakatan terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah
tersebut memunculkan aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan beliau dan para pengikutnya
merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.
Pada perkembangan
selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam karena dianggap
sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang diharapkan umat
Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang lebih
dulu.
B. Rumusa Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan
asy’ariyah?
2.
Apa istilah asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah itu?
3.
Apa saja pandangan-pandangan asy’ariyah?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui sejarah berdiri dan berkembangnya
asy’ariyah
2.
Mengetahui istilah asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah
3.
Mengetahui apa saja pandangan-pandangan
asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :
افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
Artiya: Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw telah
bersabda: Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan
atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh
puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. ( H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Jumlah perpecahan 73 golongan itu bukanlah menurut makna
hakekatnya. Tetapi yang dimaksud ialah betapa banyak perpecahahan itu. Ada
diantara ulama yang menganalisa perpecahan itu untuk menyesuaikan dengan bunyi
hadits.
Diantara 73 golongan itu sebagai berikut:
Diantara 73 golongan itu sebagai berikut:
1)
20 golongan dari
madzhab Syi’ah
2)
20 golongan dari
madzhab Khawarij
3)
20 golongan dari
madzhab Mu’tzilah
4)
7 golongan dari
madzhab Murji’ah
5)
1 golongan dari
madzhab Bakriyah
6)
1 golongan dari
madzhab An-Najiyyah
7)
1 golongan dari
madzhab Adh-Dhirariyah
8)
1 golongan dari
madzhab Jahamiyah
9)
1 golongan dari
madzhab Karamiyah
Jumlah semua 72 golongan. Inilah yang dimaksud hadits
tersebut diatas, dengan semuanya ini akan masuk neraka kecuali satu yang akan
selamat dari neraka yaitu Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Selanjutnya Istilah Ahl Al-
Sunnah wal Al- Jama’ah secara resmi dan baku dipakai sebagai golongan umat
islam yang mencakup empat Imam madzhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Ibnu Hanbal. Kami akan membahas satu dari 73 golongan
tersebut, yaitu aliran Asy’ariyah.
A. SEJARAH
BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang
dinisbatkan kepada Abu Hasan Al-Asy`ari. Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali
bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin
Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah
saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abu Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq
Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia
belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i,
salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal
itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli
Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abu Hasan telah
mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar
dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama
bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada
sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar
dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Sebab
lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan
itu guru tak dapat menjawab tantangan murid. Salah satu perdebatan itu menurut
al-Subki seperti yang dikutip oleh Harun Nasution adalah:
Al-Asy’ari :Bagaimana kedudukan ke tiga orang berikut:
mukmin, kafir, dan anak kecil
di akhirat?
Al-Jubba’I
:Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan
yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari
:Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?
Al-Jubba’I :Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena
kepatuhannya kepada Tuha. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang srupa itu.
Al-Asy’ari :Kalau anak itu mengatakan kepada tuhan: itu bukanlah salahku.
Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’I :Allah akan menjawab a: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup
engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk
kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung
jawab,
Al-Asy’ari :Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga
kepentinganku?
Di
sini Al-Jubba’I terpaksa diam. Jelas, kelihatannya al-Asy’ari sedang dalam
keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang
dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan
bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk
memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke
masjid, naik mimbar dan menyatakan bahwa dirinya keluar dari Mu’tazilah.Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Kata al-Asy’ari tersebut adalah:
“Wahai
masyarakat, barangsiapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa
yang tidak mengenalku maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan bin Fulan.
Dahulu aku berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya allah tidak
melihat dengan mata, bahwasanya perbuatan-perbuatan yang jelek aku sendiri yang
memperbuatnya. Aku bertaubat mencabut dan menolak paham-paham mu’tazilah dan
keluar darinya”.
Adapun sebab terpenting Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah
adalah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa
menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak diakhiri. Dia
mendambagakan kesatuan umat, dia sangat khawatir kalau al-Qur’an dan Hadits
menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin menyimpang
dan menyesatkan masyarakat karena Mu’tazilah lebih mementingkan akal fikiran.
Setelah itu, Abu Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abu Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in,
serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran
Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan
ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode
Pertama
Beliau hidup
di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi
orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun.
Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga
sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode
Kedua
Beliau
berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang
selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung
dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari
itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik
balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara
pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah
lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya.
Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya
itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya,
mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode
Ketiga
Pada periode
ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang
bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa
takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para
periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki,
betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif:
menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil:
menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil:
menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif:
menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode
ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di
dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa
buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya
ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio
telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan
besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia
Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab
argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah
salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika
menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini
menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di
kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar
di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat
dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga
didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan
mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan
bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU
SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para
Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana
beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat
dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin
Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam
perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk
salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para
shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka
menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan
masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang
yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang
sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi
menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus
Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti
sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa
sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang
shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan
perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian
ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu
Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal
dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu
kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah
sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah
menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan:
Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus
Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan
hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu?
Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang
sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi
sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah
dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh
orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala
menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau
bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan
serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul
Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah
terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang
berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah,
Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap
berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan
untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits
yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar
dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam
beberapa pendapat:
1. Jamaah itu
adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk
Islam.
2. Para Imam
Mujtahid
3. Para
Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya
kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum
muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan
ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani
menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul
Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah
karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun
lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok.
Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan
mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun
bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an,
Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus
Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding
Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan
tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang
putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal
Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa
Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang
seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat
maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah
yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada
di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan
penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah
digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan
istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap
paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau
718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat
dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman
khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813
M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah
diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim,
tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada
lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut
mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi
sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus
menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan
Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal
Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok
pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini.
Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah
wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah
itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa
perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang
sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama.
Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat
Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat
Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang
Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu
sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang
secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan
oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang
Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama
mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih
paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang
Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat
Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku
Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa
seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur
ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada
tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang
Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti
memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang
berbuat jahat.
7. Tetang Rupa
Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung
informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi
arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud
dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah
orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah
orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada
diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli
Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah
itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah
Al-Bayan bahwa:
- Bahwa pemakaian istilah ini
oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh
oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan
kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
- Bahwa penggunaan mereka
terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan
diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama
Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.
Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan
madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
1.
Makna Ahlussunah wal Jama’ah itu sendiri
Sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar tentang historisasi
Asy’ariyah dan perkembangannya yang kemudian dikenal dengan aliran ahlussunah
wal Jama’ah, sedangkan pemaknaaan yang lebih luas tentang
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah:
1.
Orang-orang yang
mengetahui benar-benar soal ketauhidan, kenabian, hukum-hukum janji dan
ancaman, pahala dan siksa, syarat ijtihad, imamah dan pimpinan umat (za’amah)
dengan mengikuti metode aliran mutakalimin sifatiah (yang menetapkan sifat-sifat
tuhan) yang tidak tersangkut dengan paham tasybih dan tahlil serta bid’ah kaum
Syi’ah. Khawarij dan lainnya.
2.
Imam-imam dalam fiqih,
baik dari ahlurra’yi maupun dari ahlul hadits, yang menganut mazhab golongan
sifatiah dalam soal-soal pokok agama, mengenai zat tuhan dan sifat-sifatNya
yang azali, dan menjauhkan diri dari paham Qadariah dan Mu’tazilah, menetapkan
adanya ru’yat, (melihat tuhan dengan mata kepala), kebangkitan, pertanyaan
kubur, telaga, jembatan, syafaat dan pengampunan dosa selain syirik keadaan
pahala ahli sorga dan siksa bagi ahli neraka. Mengikuti kekhilafatan
khalifah-khalifah yang empat dan memuji ulama salaf, mengatakan wajib sholat
dan shalat Jumat di belakang iamam-imam yang tidak terkena bid’ah dan
mengatakan wajibnya pengambilan hukum (istinbat) dari Quran, hadits, Ijma’.
Termasuk dalam golongan ini pengikut-pengikut Imam Malik, Syafi’I, Abu Hanifah
dan Ahmadbin Hambal.
3.
Mereka yang mengetahui
jalan-jalan hadits dan atsar yang datang dari nabi, membedakan antara yang
benar dan yang tidak, dan mengetahui sebab-sebab kebaikan seorang dan
kelemahannya (aljarhu wat ta’dil), dengan tidak tersangkut kepada bid’at yang
sesat.
4.
Mereka yang mengetahui
kebanyakan persoalan kesusutraan nahwu-sharaf dan mengikuti jejak Imam-imam
bahasa (Arab) seperti al-Khalil, Abu “Amr bin al-A’la, Sibawaihi, al-Farra’,
dan ulama-ulama nahwu lainnya, baik dari aliran Basrah maupun Kufah, yang
tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Syi’ah atau Khawarij.
5.
Mereka yang
mengetahui macam-macam qiraat Quran dan tafsir ayat-ayatnya serta pena’wilan
yang sesuai dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan ta’wilan orang-orang
bid’ah.
6.
Ahli zuhud dan golongan
tasawuf yang giat beramal dengan tidak banyak bicara, menepati ketauhidan dan
meniadakan tasybih, serta menyerahkan diri kepada tuhan.
7.
Mereka yang bertempat di
pos-pos pertahanan kaum muslimin untuk menjaga keamanan negeri Islam dan
mempertahankannya serta melahirkan mazhab ahlussunnah wal Jama’ah.
C.
PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di
antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang
mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk.
Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an
itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat
dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan
diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan
Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai
anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan
makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri
seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan
antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,
melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal
itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir.
Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya.
Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman.
Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa
Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa
sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab
kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada
sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari
janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah
tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada
kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah
wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk
kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya
apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham
Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima
ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia.
Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai
dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa
perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari.
Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya,
sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik
al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang
anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus
diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami
sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan
seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, seperti dikatakan
Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan
mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud
di luar zat.
2. Al-Qur’an
bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai
perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat
dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban
menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib
memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat
dipikul kepada manusia.
Berkat
Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana
pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para
khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama
masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang
berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus
juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal
jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama
Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang
dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/875 M. ayahnya wafat ketika
ia masih kecil dan ibunya menikah lagi dengan tokoh Muktazilah waktu itu, yang
bernama Abu Ali Al-Jubai. Berkat didikan ayah tirinya Al-asy’ari kemudian
menjadi tokoh muktazilah.Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan
mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Muktazillah dengan paham ahli-ahli fiqih
dan hadist.Al-asy’ari menganut paham muktazilah hanya sampai ia berusia 40
tahun. Setelah itu , secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid
Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham muktazilah.
Aliran Asy’ariyah istilah lain dari Ahlu Sunah Wal Al-
Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa aliran kalam. Aliran Asy’ariyah
menjadi penengah antara aliran Jabbariyyah dan Muktazilah, Karena perbuatan
manusia mempunyai kehendak dan daya. Asy’ariyah menegaskan pula bahwa perbuatan
dosa besar tidak mengkafirkan dan tidak gugur ke islamannya. Apabila pelaku
dosa meninggal dan belum sempat bertobat maka tergantung kebijakan dari Allah.
Bila mendapat syafaat Nabi SAW bisa saja mengampuni dosanya. sehingga terbebas
dari siksa Neraka atau kebalikannya mendapat siksa neraka.Tidak seperti
pemahaman Muktazilah yaitu orang yang melakukan dosa besar akan berada di dua
tempat (Manzilatun baina manzilatain).
Adapun pergolakan antara
Asy’ariyah dan Muktazilah di antaranya terjadi dalam beberapa permasalahan,
seperti Al-Qur’an, sifat Allah, dan status pelaku dosa besar. Semoga pergolakan
tersebut dapat semakin mendewasakn umat Islam dalam berpikir dan sekaligus
mendorong mereka untuk selalu berpegang pada akidah yang benar, ahlus sunnah
wal jamaah. Asy’ariyah percaya
bahwa fungsi akal adalah sebatas mengetahui hal hal yang empiri(konkrit),
sedangkan wahyu memberi informasi tentang hal hal yang lebih luas termasuk soal
metafisika. Pemikiran al Asy’ari sering di sebut sebagai imam Ahl al sunnah wa
al jama’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
§ Imrah
Muhammad, Tayyarat, Al-fikr Al-Islami, Dar Asy’suyuq, Beirut,
1911, Hal. 163
§ Badawi
Abdurahman, Mazhab Al-Islamiyyin , Dar IIm Al-Malayin,1984,
Hal . Hal . 104
§ Nasution Harun,Teologi
Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI 497
§ Hanafi Ahmad, Penghantar
Teologo Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992,
§ press, Jakarta,
1986 , Hal. 64
§ Anwar
Rasihon, Ilmu Kalam, Setia Pustaka, Bandung , 2012, Hal . 121
§ Amin,
Ahmad, Zhuhr al- Islam, jilid IV, Beirut: Dar al- Fikr,1969
§ Nasir,
Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: CV. Rajawali, 1991
§ Asmuni,
Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
§ Rozak,
Abdul, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
§ Anwar,
Rosihon, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
0 komentar: